Rabu, 12 Desember 2012
Rabu, 31 Oktober 2012
GADIS BERKAKI INDAH
GADIS
BERKAKI INDAH
Oleh Iswan
Sual, S.S
Pandangan mulai buram ketika mata
memandang keluar dari tokoh buku GMIM Tomohon. Benda dengan jarak lima meter
sudah agak samar dilihat oleh mata. Cepat-cepat, karena gerak-gerik gelisah
pegawai penjaga toko, walau hanya pas-pasan, uang di dompet kurelahkan juga
untuk ditukar dengan sebuah buku tebal
643 halaman. Sudah lama buku itu terpajang di lemari. Entah mengapa baru
hari ini kuputuskan membelinya tanpa perasaan menyesal. Seolah ada firasat buku
ini akan mendadak mahal harganya saat penulisnya meninggal dunia nanti. Selesai
membayar, dengan gembira buku otobiografi Bert Adriaan Supit ku-bembeng keluar
toko dengan pintu yang telah sempit karena sudah waktunya tutup. Sebenarnya buku yang kucari, sebagaimana tujuanku
ke toko itu, kalau tidak keliru berjudul “Kewarganegaraan yang bertanggungjawab”,
sebuah otobiografi dari Johanis Leimena. Aku mengincar buku tersebut gara-gara
disebut-sebut dalam buku renungan edisi ke-23 seri Selamat karya Andar Ismail.
Mungkin, rasa kesal kecil karena tak menemukan buku itu, muncul keinganan untuk
membeli buku otobiografi dr. Bert Adriaan Supit. Sungguh sebuah bentuk
pelampiasan positif.
Sisa-sisa rasa kesal masih belum
raib. Biasanya kalau situasi sudah begitu, aku berimprovisasi mencari
kesenangan, dalam bentuk apapun, untuk
mengusirnya. Secara tak sengaja, walau sambil berpikir, langkah-langkah
kaki berbelok ke kiri. Mengikuti trotoar kurang nyaman yang dibangun di masa
pemerintahan walikota Tomohon Jefferson M. Rumajar. Sekarang dia terkurung
dalam bui akibat penyalagunaan jabatan. Korupsi. Ya korupsi. Apalagi kalau
bukan itu. Kerumunan orang yang bergerak, kadang-kadang kami bersenggolan
terlihat begitu padat. Gadis-gadis dengan busana minim dan ketat turut memberi
warna dalam hiruk pikuk petang di pusat kota Tomohon. Di depan toko Grand
Central berdiri gadis-gadis berambut kuning bergaya seperti Go Hye Mi. Gadis
Tomohon mirip perempuan Korea.
Tas besar yang menggantung di
punggung kini terasa berat. Aku berbelok ke ke kiri dan memasuki gedung
berlantai 5. Mungkin gedung ini, juga bernama Grand Central, adalah gedung
tertinggi di kota Tomohon. Hanya sampai di lantai tiga. Aku kembali mengikuti
jalan yang kulewati terdahulu. Yang beda kali adalah aku harus menuruni anak
tangga. Kosong. Aku tak mendapatkan apa-apa di gedung tertinggi Tomohon itu.
Ponsel bergetar. Saat kubuka,
terpampang banyak pesan yang belum terbaca. Kuhentikan langkah dan membacanya
satu per satu. Semua pesan berasal dari pacarku. Dua pesannya adalah pesan laporan
terkirim pesan. Dan tiga pesan lainnya adalah pesan penipuan. Bunyi pesannya
sama, tolong kirimkan mama pulsa Rp 50ribu. Sekarang mama ada di rumah sakit
lagi jagain papa, jadi tak sempat isi. Ah! Karena sudah banyak kali
mendapat pesan serupa, aku langsung hapus saja. Penipuan dengan cara bergitu
sudah kuanggap kuno. Tidak mempan bagi saya. Sudah itu kuteruskan langkah. Di
depan Grand Central berlantai satu aku belok ke kanan. Di sebelah kanan trotoar
masih terhampar puing-puing bekas SPBU. Lahannya, walau samar, masih terlihat.
Rerumputan telah menguasai. Sungguh merusak pemandangan. Langkah cepat
membawaku ke perempatan pasar. Dekat kantor pos.
“Tondano! Tondano! Dua lei.”
Seorang lelaki berambut panjang
dengan jenggot mirip Ki Joko Bodo menyambutku ramah usai berteriak-teriak
memanggil penumpang. Kulihat dia diberi dua lembar uang berwarna kehijauan dari
sopir. Dia mempersilahkanku masuk ke dalam mikro dengan sopan. Mobil sepertinya
sudah penuh, fol orang Manado bilang. Kecuali satu tempat duduk fip.
Sebuah tempat duduk baris ketiga yang
menghalangi penumpang menuju kursi jok paling belakang. Saya kira
sebutan fip untuk kursi itu tak mirip maknanya dengan kursi VIP (very important
person-orang paling penting) dalam acara konser. Itu merupakan kata plesetan.
Sebab orang yang duduk di kursi yang kadang berbahan kayu keras tersebut harus
menerima derita ketidaknyaman menumpang dalam kendaraan berwarna biru langit
tersebut. Tapi, secuilpun tak ada rasa jengkel. Karena, waktu aku baru satu
langkah memasuki mobil tampak sepasang kaki langsing berwarna terang dengan
balutan kain teramat minim. Pendek. Walau hanya singkat, dengan gamblang celana
pendek yang dikenakan oleh gadis yang akhirnya menjadi tetangga duduk saya
jaraknya kurang dari sejengkal tangan.
Perlahan aku menaruh pantat saya
pada fip. Tas punggung kutempatkan di antara kedua kaki saya. Walau jarakku
dengan gadis berkaki indah tak jauh. Bahkan saling bersentuhan, tak berani aku
menoleh barang sedetik untuk melihat wajahnya. Yang kutahu suaranya merdu.
Ibarat sentuhan, suaranya halus dan lembut. Seperti Go Hye Mi dalam film Korea
berjudul Dream High. Mungkin wajah gadis di sampingku berwajah Go Hye Mi.
sesekali kudengar dia membicarakan soal harga tiket promo dengan teman
bicaranya di ponsel.
“ Apa de’? Yang penting kwa so
pasiar. Kita tre lalu cuma satu dua hari. Spekol. Yang penting so lia’ Bali.
Legian. Nda usah kwa’ pikir ole-ole apa ngana mo bawa’ pulang. Ngana lia kita,
gantungan kunci. Itu no yang kita bawa dari Bali.”
Gadis berkaki indah di sebelahku
begitu menghibur dan menentramkan jiwa. Kuanggap kalimat demi kalimat yang
keluar dari mulutnya ditujukan padaku. Kuandaikan kami saling rayu saat mampir
di sebuah kafe sederhana namun terletak di tempat romantis. Seperti sebuah kafe
pertigaan dekat patung Opo Tololiu. Katakanlah begitu.
Ponselku sekali lagi bergetar.
Begitu kukeluarkan sinarnya terciprat ke samping kanan. Cahaya lampu ponsel
lebih menambah keyakinanku bahwa Go Hye Milah yang duduk di sebelahku. Kaki
putih, panjang dan langsing merayu-rayu untuk dilihat. Apalagi auratnya yang
tinggal setengah jengkal lagi terumbar. Hingga kini gadis berlogat Tondano
masih bicara dengan ponselnya. Rasa gelisah untuk melihat kian mendesak. Tapi
tak mungkinlah aku melakukan kenekatan itu. Apalagi cahaya ponsel yang
berkali-kali menyebar berpotensi menimbulkan rasa curiga padanya.
“Papi, halo? So baganggu kita? Iyo
dang nanti jo sbantar kong telpon ulang.”
Kini mikro mulai menuruni daerah
Kasuang. Kiri dan kanan berjejer restoran dan kafe. Lampu terang redup turut
memperindah suasana petangku. Temaram dalam ruang kendaraan yang kami tumpangi
menambah keromantisan aku dan Go Hye Mi. Isi obrolannya menunjukkan dia seorang
gadis yang kaya namun tak manja. Tak ingin bergantung pada fasilitas. Sebagai
gantinya, dia lebih suka naik angkutan umum. Mungkin ada harapan, dalam
angkutan umum dia bertemu pemuda sederhana yang bakal menjadi pujaan hatinya. Mirip-mirip
akulah. Hahahaha.
“Muka Om.”
Tak terasa kini aku sudah mesti
turun dan merelahkan Go Hye Mi melanjutkan perjalanannya tanpaku. Mikro kini
berhenti persis dekat rambu lalulintas yang mengindikasikan bahwa di depan ada
pertigaan (bundaran). Yang ke kiri menuju Tondano. Yang ke kanan menuju kampus
UNIMA. Ada kesempatan terakhir untuk melihat wajah gadis teman dudukku. Sengaja
aku membayar tarif dengan uang pecahan Rp 10.000 agar paling tidak ada satu
menit mobil akan berhenti. Itulah kesempatan yang akan kucuri berharap dapat memandang
wajah gadis yang bersuara ayu dan yang bikin aku serasa mau terbang melayang
bak malaikat. Cahaya lampu mobil yang datang dari depan akhirnya meluluskan
keinginanku. Buset! Tak dapat dipercaya. Ternyata gadis yang duduk di
sampingku, gadis bersuara lembut dan berkaki indah, yang aku bayangkan sebagai
gadis Korea, gadis kaya yang nekat naik transportasi umum demi mencari pacar
yang sederhana adalah mantan kekasihku. Gadis yang pernah mengejar-ngejar aku
sewaktu aku masih populer di kampus. Namanya Nadya Chingsi Tombuku. Untung saja
aku tak menoleh padanya sewaktu kami
duduk berdampingan. Untung dia tak sampai mengenal tampang saya yang kini
urak-urakan. Lelaki berumur di ujung duapuluan yang hingga kini karena kutukan
selalu ditolak gadis. Lelaki yang terlambat menyadari bahwa hidup manusia itu
kadang di atas kadang di bawah. Seperti roda yang berbutar. Nadya pasti takkan
senang. Juga takkan simpati. Malah dia bakal memaki aku gara-gara
meninggalkannya sewaktu tahu dia sudah hamil dua bulan hasil hubungan tanpa
batas kami di kos-kosan dulu.
“Nyong! Nyong! Napa doi sepulang!”
Tergesah-gesah aku menjauhi mobil.
Dengan gaya berjalan yang sudah kuubah. Aku tak peduli dengan uang kembalian,
Rp 6000. Aku tak mau mengambil resiko bertatapan dengan mantan kekasihku itu.
Bisa-bisa aku diteriaki maling lalu orang-orang berhamburan datang memukuli,
menyiram dengan besin kemudian membakar aku hidup-hidup.
BUKAN SEBUAH PENGAKUAN
BUKAN
SEBUAH PENGAKUAN
Oleh Iswan
Sual
“Wan…sudah siap?” kata kepala
sekolah mengganguku yang tengah menikmati novel karya A. Fuadi, Negeri 5
Menara. “Ato, ngana mo baganti dulu? Kita tunggu jo dang di rumah.”
Kututup novel empat ratusan halaman
itu dan memutar leher menatapnya. Tanda tanya besar bertumpuk di benak. Apa
gerangan maksudnya dengan kalimat yang barusan dia ucapkan?
“Maksudnya apa pak?”
“Torang wo’o mo ka Amurang. Sama
deng tu hari dang. Pertemuan sekolah-sekolah berkaitan dengan EDS. Evaluasi
Diri Sekolah.”
Penjelasan singkatnya membawaku
kembali ke masa lalu dengan kesan yang memuakkan. Kernyitan pada dahiku lepas
setetelahnya.
“Nda ona’ mo tapigi kita bapa’. Ja
kaluar dara kita pe idong. Blum bole ja ba angin kita.”
Alasan begitu lancar meluncur
keluar dari mulutku. Sudah lama alasan itu mengeram di alam bawah sadar.
Sebagai reaksi agar tak terulang lagi kejadian sial tahun lalu.
***
Tahun lalu…
Aku paling kesal bila ditipu.
Kalian juga pasti kesal kan? Tempo hari, hari itu libur sekolah. Tiba-tiba saja
datang seorang suruhan kepala sekolah ke rumahku.
“Basaleng jo kata. Mo pigi di
Lompad. Kepsek bilang jang lupa bawa laptop,” kata seorang bapak begitu turun
dari sepeda motornya yang masih tampak mengkilap tanpa cacat. Suaranya pun
nyaris tak terdengar.
“Mo ba apa kira-kira e?”
“Oh kita komang nda tau. Cuma da
bilang, basaleng jo kata kong bawa laptop.”
Rasa penasaran melingkupi.
Kira-kira apa gerangan yang akan kami lakukan. Ada kebanggaan muncul dalam
hati. Aku merasa bahwa tugas yang akan aku lakukan merupakan pengakuan terhadap
kemampuanku dan kinerjaku selama ini. Mungkin aku akan dipromosikan di depan
atasan kepala sekolah. Bangga rasanya kalau kita diakui.
Cepat-cepat aku membersihkan diri
dengan air dingin yang sudah lama menginap dalam bak besar. Gayung bertubi-tubi
masuk keluar bak itu. Dari luar terdengar ibu mengeluh karena aku mandi seperti
tarzan yang datang ke kota. Tak tahu cara mandi yang benar. Aku tak perduli.
Perasaan senang karena bangga kini
berubah menjadi perasaan sombong.
Belum selesai aku mengenakkan
kemeja hitam bergaris-garis ibu sudah
menggedor-gedor pintu dan meneriakkan kalimat yang susah kuterima. Lantunan
lagu yang berhamburan dari mulutku menang telak dari kalimat-kalimat ibu yang
mungkin penting itu. Suasana hatiku pada waktu itu laksana saat pertama kali
jatuh cinta pada anak gadis kelas satu dulu. Aku sudah kelas dua. Namanya
Gledis. Tubuhnya mungil dan lincah. Aku paling suka kala kami bersitatap saat
tak sengaja bertemu di lorong antara ruangan guru dan perpustakaan. Rambut di
keningnya sangat tebal. Lesung pipinya aduhai!
“Pep pep! Pep pep! “
Gedoran pintu makin keras
beriringan dengan bunyi klakson mobil di depan rumah.
“Wan…! Wan…kepsek so di muka!”
Terburu-buru aku memasukan laptopku
ke dalam tas warna hitamku. Kukenakkan sepatu tanpa tali. Tak lalai juga ku
semir dengan Kiwi. Sempurna!
Wajah kepala sekolah berseri-seri
waktu aku dan ibu sama-sama keluar dari rumah. Para guru lainnya cekikikan
melihat aku yang agak yang cuek saja dimarahi ibu karna telah membuat
manusia-manusia berseragam PNS di mobil menunggu.
***
Lima belas menit kemudian kami
sudah tiba di sebuah sekolah di desa Lompad. Wajar sekolah sepi. Ini kan hari
libur. Gelagatku seperti seorang turis begitu kami turun dari mobil yang
dikendarai oleh kepsek. Sekolah berlokasi agak jauh di mana mobil terparkir.
Kami harus menuruni kurang lebih lima puluh anak tangga. Dari anak tangga
terakhir kulihat ada dua prasasti terpatri pada dinding berwarna coklat muda.
Bendera negaraku dan negeri Kangguru berdampingan dalam prasasti. Tinta
berwarna emas dalam dua bahasa menyampaikan bahwa bangunan sekolah itu
merupakan bantuan dari negara masih terikat erat dengan negerinya ratu pangeran
Charles itu.
Hebatnya sekolah ini punya toilet
mewah layaknya sekolah-sekolah di negara maju. Pokoknya suasananya bikin aku
teringat film-film barat yang diputar di saluran HBO.
Setelah membuang hajat di toilet
yang mewah aku menuju ruangan yang nampak ramai. Agak segan aku masuk ke
ruangan yang mulai penuh guru-guru. Penyelenggara acara masih sibuk mengatur
kursi dan meja, mengurai kabel, memasang layar LCD.
“Maso jo,” kata kepala sekolah
sambil memegang kedua bahuku dari arah belakang.
Aku mencari tempat duduk paling
belakang dekat dengan tiga guru yang datang satu kendaraan denganku. Termasuk
kepala sekolah. Kukeluarkan laptop dari tasku dan meletaknya di atas meja.
Guru-guru lain yang masih udik menatap alat elektronik itu sedikit terpesona.
Maklum laptop mungil berwarna putih susu itu enak dipandang. Jadilah kami berempat duduk sebaris paling
belakang.
“Bapak dari sekolah mana?” tanya
pria muda berdasi.
“SMP Tinondeian.”
“Trus, dua ibu ini dari sekolah
mana?”
“Sama.”
“Bapak?”
“Kami berempat dari sekolah yang
sama.”
“Loh! Kok empat? Kan di surat hanya
dua yang diminta.”
Rasa percaya diriku jatuh ke jurang
terdalam. Aku memandangi ketiga rekan guruku. Penuh tanya. Kesal. Malu. Lebih
banyak kesal. Kok, bisa salah begini ya? Aku memasukan laptop ke dalam
tas diikuti bunyi retsleting yang keras. Aku berdiri siap untuk keluar.
“Biar jo. Nda usah keluar. Kita jo
tu di luar. Kita dapangge ngana datang karna torang perlu operator komputer.”
Sial! Ternyata aku disini bukan
sebagai orang penting. Tapi sebagai okoi. Pesuruh. Kalau tahu begini,
aku tak mau repot-repot berdandan dan berbangga diri. Hanya karena si kepsek
tak bisa mengoperasikan komputer, jadi dia berdusta supaya presentasinya akan
berjalan mulus. Dusta. Ya dia berdusta. Menurutku, informasi yang tak lengkap
adalah dusta. Dia tidak memberitahu dengan jelas tugasku sewaktu kami masih di
kampung. Dan yang paling parah adalah aku di dalam ruangan berperan sebagai
kepala sekolah. Dan dia tidur-tiduran di mobil berperan sebagai seorang sopir.
Sial. Kami harus memeras otak seharian. Sedangkan dia asyik berkelakar dengan
orang-orang di luar. Kepala sekolah macam itu. Peret re’e ona!
Diculik Lo’lok
Diculik Lo’lok
Oleh Iswan
Sual
Herdi tak pulang-pulang rumah sejak
siang setelah kembali dari sekolah. Memang, dia sempat pamit pada ibunya untuk
bermain dengan kawan-kawannya, anak-anak tetangga. Biasanya dia sudah pulang.
Dan seharusnya begitu. Teman-temannya juga kini sudah asyik berkelakar dengan
orang tua mereka di rumah. Jelas kedengaran dari rumah Herdi. Matahari sudah
lama bersembunyi di balik samudra luas.
Agar keresahan tak semakin menggunung
tak pasti, ibu Herdi mengunjungi rumah tetangganya satu per satu. Sambil
bertanya dan melihat-lihat anaknya kalau-kalau ada di sana. Seolah ada bisikan
sesuatu telah menimpah anaknya. Naluri seorang ibu begitu kuat. Dia yakin akan
hal itu.
“Herdi dengang torang tadi. Da main
sama-sama di belakang. Torang da bayoya di pohong-pohong kopi. Torang
pangge-pangge pulang tadi mar dia nimau. Cuma bayoya trus,” ujar teman Herdi
terbata-bata. Gugup karena merasa diinterogasi.
Satu jam telah berlalu. Kini ayah
Herdi juga ikut mencari. Padahal dia baru pulang dari kebun. Profesinya sebagai
Ma’gula dengan kerja yang amat berat sebenarya bisa menjadi alasan untuk tidak
langsung turun tangan mencari anaknya. Kalian mungkin tahu bagaimana beratnya
menjadi seorang Ma’gula. Pagi-pagi
sekali, kira-kira jam lima, dia bangun lalu berjalan kaki sejauh tiga kilo
meter. Rerumputan yang masih basah oleh embun turut menyumbang rasa dingin ke
tubuh lelaki itu. Menusuk tulang. Ngilu bukan main. Sasampai di sana satu per
satu pohon enau dipanjatnya, turunkan sareng berisi air nira dengan
menggunakan tali. Berikutnya mengiris pusu’ yang mengeluarkan nira itu.
Setelah semua pohon aren penghasil
nira dipanjat, kurang lebih sepuluh, tiba waktunya menghidupkan api untuk
merebus air nira. Sambil menunggu air susut, dia pun harus mencari kayu bakar
di hutan yang agak jauh dari sabuah, pabrik tradisional dimana dia
memasak gula. Saat penyusutan sudah mencapai tahap paling, air nira yang sudah
menjadi kental dituangkan ke tempurung. Di ujung sore sekali lagi pohon aren
dipanjat untuk diambil niranya kemudian direbus. Wah, pekerjaan yang
membutuhkan tenaga dan kesabaran luar biasa.
Jam dinding bermerk Sonny terpatri
di dinding menunjukkan kini sudah pukul 21.00. Ayah Herdi sudah melaporkan ke Hukum
Tua bahwa anaknya, satu-satunya tak pulang rumah sejak keluar pukul 10 tadi
pagi. Pengeras suara yang diletakkan di ujung pohon tertinggi di tengah kampung
berkoar-koar menghimbau seluruh warga menyiapkan alat penerang dan kelengkapan
lainnya untuk menemani mereka mencari anak sembilan tahun yang hilang.
***
Jam 06.00 sore (sebelum dinyatakan
hilang)
Tanaman kopi rimat
berhimpitan membuat gelap lahan luas di belakang hunian penduduk berjarak 200 m
dari rumah Herdi. Di tengah-tengah, terdapat beberapa tanaman dengan batang
sebesar kaki orang dewasa. Tanaman itu condong nyaris merayap di atas tanah.
Gerombolan anak tahun terakhir SD di kampung itu suka sekali datang bermain
monyet-monyetan. Mereka doyan berayun berjam-jam sambil menirukan Tarzan atau
bintang film silat Cina yang lagi populer di desa. Ayunan alamiah yang
disuguhkan oleh tanaman kopi yang berjejer itu sangat memanjakan anak-anak.
Mereka merindukan ayunan saat masih bayi sebelum disapih.
“Di, marjo pulang. So ja barinte.
Kalu balama disini torang mo basa. Mo dapa mara eta’ ya!”
Bukanya menoleh pada temannya,
Herdi malah sibuk berbincang sendiri. Begitulah anak-anak. Berbicara sendiri
tanpa lawan bicara adalah hal lumrah. Mereka mampu mementaskan sesuatu secara
monolog di atas panggung nirpenonton. Monolog itu bukan hanya bakat melainkan
berkat lahir yang akan berangsur-angsur punah seiring dengan bertambahnya usia
anak-anak.
“Herdi…Di…Herdi!”
Gerimis yang datang beriringan
dengan kepergian matahari ke ufuk barat memaksa kawanan anak cepat-cepat pulang
ke rumah mereka masing-masing. Herdi semakin serius dengan monolognya. Bukan
monolog. Ternyata dia berdialog. Dengan
seorang-orang yang hanya bisa dilihat oleh dia sendiri. Mahkluk itu meminta
Herdi akan terus bermain ayunan. Herdi pun merasa ibah dengan permintaan orang
bertubuh kecil. Tiga kali lipat lebih kecil.
Mata Herdi merem. Dia serasa akan
hanyut berlayar ke pulau kapuk. Tapi dia tak mau tidur. Dia ingin bermain
ayunan di pohon kopi lagi.
“Ayo kita bermain lagi.”
Manusia bertubuh kecil itu terus
mendesak. Wajah elok mereka menambah ketertarikan Herdi larut dalam permmeainan
berayun dengan bergayut pada cabang-cabang pohon.
“Ayo ikut kami.”
“Kemana?”
“Ke tempat kami.”
Herdi pun turut dengan manusia
kecil. Dan kini jumlah mereka meningkat. Bergerumbul mereka berjalan menuruni
bukit. Kian jauh dari perkampungan. Akhirnya mereka tiba di pancuran. Tempat
mereka biasa mandi. Banyak bebatuan berjejer dan bertumpuk.
“Masuk yuk!”
Dahi Herdi mengerut. Dalam keadaan
setengah sadar muncul curiga dalam benaknya. Mengapa aku harus masuk ke
celah batu. Mana bisa masuk. Gumamnya. Mahkluk-mahkluk kecil satu persatu
masuk melalui celah. Ini tak masuk akal. Walaupun aku masih anak-anak, tapi ini
benar-benar di luar jangkauan berpikirku. Kata Herdi dalam hati.
“Kita pulang saja yuk,” ajak Herdi
pada mahkluk kecil yang paling banyak berkomunikasi dengannya semenjak sore
tadi. Berkali-kali mahkluk mengajar menembus celah batu, namun Herdi tetap
menolak.
Mereka pun kembali menelusuri jalan
yang mereka lewati sebelumnya. Yang mengherankan, hari sudah malam namun jalan
dimana mereka melangkahkan kaki terang benderang seperti mendapat cahaya lampu
sorot.
“Ayo kita berayun lagi.”
Kini Herdi lupa untuk pulang. Namun
hatinya resah. Dia melihat orang jumlah besar dengan obor dan lampu petromaks
menuruni bukit menuju pancuran dari mana dia dan kawan kecilnya datang. Orang
betulan. Bukan mahkluk kecil. Dipanggilnya ayahnya yang lewat. Tak ada sahutan.
Dilihat pun tidak. Herdi diliputi ketakutan. Dengan susah payah dia melangkah
pulang ke rumah. Di halaman rumah dilihatnya banyak wanita dewasa dan anak
bergunjing tetang sesuatu hal. Tentang seorang anak yang hilang. Dia menyapa
orang-orang itu. Tapi mereka tak sedikit pun ambil pusing. Herdi menjerit tak
bersuara.
“Herdi! Herdi! Oh Tuhan, napa tu
Herdi, “ seorang wanita berteriak Histeris. Di kuping terdengar dengungan
memekak. Orang-orang berkerumun. Menangis. Herdi pun histeris. Menangis ketika
kerumunan secara bergantian menyentuhnya. Seperti hilang kekuatanya. Seorang
wanita memeluknya dan mengguncang-guncangnya. Herdi terbangun dari setengah
tidurnya. Kini tak ada lagi rasa takut.
Take For Granted
Sebuah cerpen
Oleh Iswan Sual
Sudah empat hari Lebing tinggal di
sebuah pulau bernama Marore. Pulau ini adalah pulau terluar utara Indonesia
yang merupakan bagian dari Kabupaten Sangihe. Dekat ke kota General Santos
daripada kota Tahuna. Apalagi ke Manado. Waktu tempuh Marore ke Manado 18 jam.
Sedangkan Marore ke General Santos hanya kurang lebih dua sampai 3 jam. Hari
demi hari dilewatinya tanpa ada masalah yang serius. Padahal, sewaktu masih
belum berada di lokasi tugasnya itu dia telah disuguhi banyak informasi yang
sebenarnya punya potensi untuk membuatnya kalah sebelum berperang. Kata mereka,
tak ada sinyal untuk ponsellah, listrik hanya malam, air susah didapat, dan
lain-lain. Namun, bukan Lebing namanya jika dia harus menyerah hanya karena
diberi informasi seperti itu. Dia cenderung berpikir objektif. Dalam hatinya
dia selalu berkata, “Segala sesuatu punya plus dan minusnya.” Bagai sebuah
paham Taoisme. Ada Yin dan ada juga Yang. Kalau bilang takut atau khawatir,
secara manusia, pasti ada. Namun, buku yang berjudul The Secret rupanya banyak
memberinya kekuatan untuk tidak selalu berburuk sangka. Melainkan berpikir
positif demi hasil yang positif pula.
Kecuali udara yang super duper panas,
semua mengenai Marore disukai Lebing. Kemarin, gara-gara tak bisa tidur di
kamar, dia memutuskan berjalan-jalan di tepi pantai berpasir putih. Dia
bercakap-cakap dengan penduduk setempat yang ramah-ramah. Lagipula udaranya
yang belum terkontaminasi oleh polusi. Di sini tak ada mobil. Sepeda motorpun masih
satu dua. Hanya butuh 40 menit untuk bisa mengelilingi luas desa.
***
Tadi pagi setelah sarapan kira-kira
jam sembilan dia mulai berjalan keluar dari rumah singgahnya. Sesuai rencana
yang dia buat semalam, dia akan ke kantor camat, puskesmas dan sekolah-sekolah
untuk meminta data-data. Sedari satu langkah telah tersungging senyum di
bibirnya. Dengan begitu seluruh saraf di tubuh akan ikut tercipta aura riang.
Jalan setapak selebar dua meter disusurinya. Daun pepohon kelapa, pepaya
bergelayut menggapai kepalanya. Samping kiri dan kanan terdapat rawa. Burung
weris binatang-binatang air nampak malu-malu berkeriapan kembali ke kubangan.
Bahkan rengekkan babi-babi hitam yang baru beranak tertambat. Bunyi-bunyi
burung kecil nan nyaring dan lucu turut menambah suasana syahdu mengiringi
langkah kaki Lebing ke kantor camat.
Di kantor camat yang dibangun di atas
rawa itu lengang.
“Slamat pagi Pak.”
“Oh selamat pagi. Silahkan duduk, De.
Ada yang mungkin bisa dibantu?” sambut bapak berambut klimis berperawakan seperti
Adji Massaid. Tubuhnya tegap seperti pejuang-pejuang Palestina tanpa senjata.
Pertanyaan demi pertanyaan dijawab mereka dengan sabar dan jujur. Ada juga
seorang gadis tenaga honorer yang membantu. Namanya Yethlin Mahmud. Gadis yang
menarik. Sewaktu memperkenalkan diri, dengan panjang lebar dia menjelaskan
bahwa sebenarnya Opanya adalah orang Tidore Tahuna. Seorang muslim. Namun
kemudian anaknya yang ke Marore berpindah menjadi Kristen. Gadis itu terlihat
begitu cantik ketika tubuhnya dibalut baju yang resmi. Sepatu berhak tinggi
begitu pas di kakinya. Walaupun gadis desa, ketika mengenakkan outfit yang
modern, dia nampak seperti gadis kota yang maju pandangannya.
Dari situ selanjutnya aku berpindah
ke kantor puskesmas. Tenaga medis melayaniku dengan baik. Tiga orang menjawab
dengan sabar setiap pertanyaan yang terlontar. Umur mereka yang tak terlalu
jauh dari ku membuat suasana sedikit lebih mencair. Aku disuguhkan es mangga
segelas besar. Sudah empat hari aku di sini, dan di tempat itulah aku pertama kalinya
dilayani dengan minuman sewaktu bertamu. Tak lama juga aku di tempat itu.
Selanjutnya aku menuju Lindongan
tiga. Orang di sini menyebut dusun atau jaga sebagai Lindongan. Seperti yang
umumnya digunakan di kampung-kampung Minahasa. Jadi setiap daerah punya
penamaanya sendiri. Ini adalah wujud otonomisasi daerah. Tapi sayangnya, di
kampung-kampung Minahasa hampir tak ada yang disesuaikan. Seharusnya desa
disebut Ro’ong. Kecamatan disebut Pakasa’an, dan Kabupaten dinamakan Walak dan
Propinsi disebut Wanua.
Di Lindongan 3 itu terdapat dua
sekolah. SMP dan SMA. Kurang lebih 900 meter dari pusat kampong Marore.
Tujuanku hanya SMP. Terik yang menggigit aku acuhkan karena keelokkan pantai
pasir putih yang dibatasi jalan setapak berdinding. Mirip sekali tembok Cina.
Saat langkah demi langkah menapak serasa aku berada di tembok Cina yang
dibangun dengan mengorbankan ribuan orang dan dalam waktu bertahun. Bedanya
tembok yang aku jejaki dibuat dengan kualitas rendah. Banyak yang telah retak
dan berlubang. Asal jadi! Padahal dana-dana bantuan yang dikhususkan untuk
daerah perbatasan begitu banyak demi kesejahteraan rakyatnya sendiri. Yang
mengerjakan adalah orang kampong. Masih juga dibuat dengan mutu yang rendah.
Dua guru menyambut saya dengan gembira. Wakil kepala sekolah begitu ramah.
Sewaktu masih berbincang tiba-tiba hujan mengguyur. Namun tak lama berselang.
Aku mohon pamit saat tinggal rintik-rintik kecil tak berarti. i
Saat pulang aku mencoba jalan
alternatif lain supaya semakin mengenal wilayah dimana aku akan tinggal entah
sampai kapan. Senyuman terus mengumbar di bibirku saat aku sudah berada lagi di
tepi pantai. Kembali melewati tembok Cina. Jauh di depan terpampang dua pulau
yang menonjol, Kemboleng dan Kawio. Di sebelah kiri, secara samar terpajang juga
sebuah pulau tak berpenghuni yang bernama Mamanuk. Seirama kaki dan tangan
bergerak, aku menyadari ada sesuatu yang kurang. Ya Tuhan! Aku lupa sesuatu.
Map berisi formulir tertinggal di meja ruangan guru. Untung aku dengan sekolah
hanya terbentang jarak kurang lebih 200 meter. Tak ada pilihan. Aku harus
segera kembali. Mumpung jam sekolah belum berakhir. Lantai santai kini berubah
menjadi langkah tergesa. Tak sampai dua menit aku telah tiba di sekolah dan
mengambil map berwarna biru yang
tergeletak tepat di sisi tumpukan berkas dan buku-buku pegangan guru. Aku
keluar dari ruangan guru. Melewati lapangan basket. Saat melewati SMA yang
berdampingan dengan SMP terdengar tepuk tangan dan siutan yang disertai
ledakkan canda tawa. Aku melarang kepalaku menoleh. Tepuk tangan, siutan terus
saja.
“Anak-anak ini tidak diajarkan
tatakrama! Masakan, aku seorang tamu diperlakukan seperti ini?” kecamku dalam
hati. Dengan terpaksa aku menoleh ke arah darimana tepuk tangan dan siuatan
itu. Sewaktu leher berputar 90 derajat yang kulihat bukanlah murid-murid yang
nakal melainkan guru atau mungkin pegawai berseragam batik. Tampak begitu jelas
bahwa mereka adalah orang-orang dewasa. Benakku penuh tanda tanya, “Kok bisa
ya?”
Kembali lagi aku menyusuri jalan yang
sama. Rasa kesal dilecehkan terobat oleh panorama pantai dan laut. Begitu biru
airnya. Riak-riak berbuih turut menenangkan suasana hati. Aku mulai hanyut oleh
belaian angin sepoi-sepoi. Di belakangku terdengar raungan sepeda motor. Begitu
aku menoleh, kulihat dua sepeda motor. Ada tiga penumpangnya. Semuanya
berseragam persis seragam yang digunakan pegawai yang iseng padaku. Cepat
sekali sepada motor melaju. Dan tiba-tiba…
“Kak!” seorang gadis berkulit putih
berteriak padaku sambil menunjukkan jarinya. Ya aku kenal perempuan itu. Dia
adik angkatanku sewaktu masih kuliah. Salah satu yang pernah menjadi sasaran
perpeloncoan. Sayangnya aku lupa namanya. Gadis blasteran bertubuh semampai.
Tapi…dia masih gadis atau sudah menikah ya? Kurang tahu. Dia tak begitu
kuperhatikan sewaktu di kampus. Memang sewaktu kuliah dulu mataku tak pernah
beralih bila dia lewat di depan kelasku. Tapi, dia tak pernah dekat denganku.
Barangkali, karena faktor perbedaan jurusan dan tak aktif di organisasi. Waktu
itu aku berpikir tak ada pentingnya dekat dengan dia. Tambah lagi minat kami
tak sama. Dia bukan tipe mahasiswa yang suka berorganisasi di kampus.
Gadis…perempuan itu lalu begitu saja.
Kata “Kak” yang diucapkan paling tidak aku balas dengan “Hai”. Sepeda motor
buru-buru membawa. Akupun tak berharap banyak. Aku meneruskan perjalanan
sembari sesekali mengambil gambar pemandangan dengan kamera ponselku. Sesampai
di tempat tinggalku, kulempar tas di atas kasur diiringi desahan panjang
sebagai bentuk ekspresi manusia yang sudah kelelahan, kepanasan dan kelaparan.
Tanpa ganti baju aku langsung menuju ke warung untuk membeli dua butir telur
ayam.
“Kak!” dengan gerak reflek kepalaku
mencari sumber suara.
Ya ampun! Gadis…perempuan di atas
sepeda motor yang menegurku ternyata tinggal di depan tempat tinggalku. Kami
hanya dipisahkan oleh tanah berjarak kurang dari sepuluh langkah. Dia datang
mendekat. Seragam batik kecoklatannya tak lagi melekat di tubuhnya. Dia kini
dibalut pakaian “Baby Doll”. Kegadisannya begitu kentara. Bentuk badannya masih
menyiratkan bahwa dia masih gadis. Kami bicara banyak. Sangat ramah. Setelah
pertemuan itu, dia sering ke tempat tinggalku. Membawakan makanan dan
perhatian. Ya Tuhan! Orang yang tak begitu aku kenal dan tak dekat bertemu
denganku di pulau terpencil. Dia begitu baik padaku. Aku sedikit merasa
berdosa. Dulu aku berkawan demi sebuah manfaat dan keuntungan, take for
granted. Justru orang-orang yang tak sedikitpun kita beri perhatian bisa
menjadi sahabat atau malaikat di saat kita susah atau kesepian.
Langganan:
Postingan (Atom)