Rabu, 31 Oktober 2012

Diculik Lo’lok

Diculik Lo’lok
Oleh Iswan Sual

Herdi tak pulang-pulang rumah sejak siang setelah kembali dari sekolah. Memang, dia sempat pamit pada ibunya untuk bermain dengan kawan-kawannya, anak-anak tetangga. Biasanya dia sudah pulang. Dan seharusnya begitu. Teman-temannya juga kini sudah asyik berkelakar dengan orang tua mereka di rumah. Jelas kedengaran dari rumah Herdi. Matahari sudah lama bersembunyi di balik samudra luas.
Agar keresahan tak semakin menggunung tak pasti, ibu Herdi mengunjungi rumah tetangganya satu per satu. Sambil bertanya dan melihat-lihat anaknya kalau-kalau ada di sana. Seolah ada bisikan sesuatu telah menimpah anaknya. Naluri seorang ibu begitu kuat. Dia yakin akan hal itu.
“Herdi dengang torang tadi. Da main sama-sama di belakang. Torang da bayoya di pohong-pohong kopi. Torang pangge-pangge pulang tadi mar dia nimau. Cuma bayoya trus,” ujar teman Herdi terbata-bata. Gugup karena merasa diinterogasi.
Satu jam telah berlalu. Kini ayah Herdi juga ikut mencari. Padahal dia baru pulang dari kebun. Profesinya sebagai Ma’gula dengan kerja yang amat berat sebenarya bisa menjadi alasan untuk tidak langsung turun tangan mencari anaknya. Kalian mungkin tahu bagaimana beratnya menjadi seorang Ma’gula.  Pagi-pagi sekali, kira-kira jam lima, dia bangun lalu berjalan kaki sejauh tiga kilo meter. Rerumputan yang masih basah oleh embun turut menyumbang rasa dingin ke tubuh lelaki itu. Menusuk tulang. Ngilu bukan main. Sasampai di sana satu per satu pohon enau dipanjatnya, turunkan sareng berisi air nira dengan menggunakan tali. Berikutnya mengiris pusu’ yang mengeluarkan nira itu.
Setelah semua pohon aren penghasil nira dipanjat, kurang lebih sepuluh, tiba waktunya menghidupkan api untuk merebus air nira. Sambil menunggu air susut, dia pun harus mencari kayu bakar di hutan yang agak jauh dari sabuah, pabrik tradisional dimana dia memasak gula. Saat penyusutan sudah mencapai tahap paling, air nira yang sudah menjadi kental dituangkan ke tempurung. Di ujung sore sekali lagi pohon aren dipanjat untuk diambil niranya kemudian direbus. Wah, pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan kesabaran luar biasa.
Jam dinding bermerk Sonny terpatri di dinding menunjukkan kini sudah pukul 21.00. Ayah Herdi sudah melaporkan ke Hukum Tua bahwa anaknya, satu-satunya tak pulang rumah sejak keluar pukul 10 tadi pagi. Pengeras suara yang diletakkan di ujung pohon tertinggi di tengah kampung berkoar-koar menghimbau seluruh warga menyiapkan alat penerang dan kelengkapan lainnya untuk menemani mereka mencari anak sembilan tahun yang hilang.
***
Jam 06.00 sore (sebelum dinyatakan hilang)
Tanaman kopi rimat berhimpitan membuat gelap lahan luas di belakang hunian penduduk berjarak 200 m dari rumah Herdi. Di tengah-tengah, terdapat beberapa tanaman dengan batang sebesar kaki orang dewasa. Tanaman itu condong nyaris merayap di atas tanah. Gerombolan anak tahun terakhir SD di kampung itu suka sekali datang bermain monyet-monyetan. Mereka doyan berayun berjam-jam sambil menirukan Tarzan atau bintang film silat Cina yang lagi populer di desa. Ayunan alamiah yang disuguhkan oleh tanaman kopi yang berjejer itu sangat memanjakan anak-anak. Mereka merindukan ayunan saat masih bayi sebelum disapih.
“Di, marjo pulang. So ja barinte. Kalu balama disini torang mo basa. Mo dapa mara eta’ ya!”
Bukanya menoleh pada temannya, Herdi malah sibuk berbincang sendiri. Begitulah anak-anak. Berbicara sendiri tanpa lawan bicara adalah hal lumrah. Mereka mampu mementaskan sesuatu secara monolog di atas panggung nirpenonton. Monolog itu bukan hanya bakat melainkan berkat lahir yang akan berangsur-angsur punah seiring dengan bertambahnya usia anak-anak.
“Herdi…Di…Herdi!”
Gerimis yang datang beriringan dengan kepergian matahari ke ufuk barat memaksa kawanan anak cepat-cepat pulang ke rumah mereka masing-masing. Herdi semakin serius dengan monolognya. Bukan monolog. Ternyata dia berdialog.  Dengan seorang-orang yang hanya bisa dilihat oleh dia sendiri. Mahkluk itu meminta Herdi akan terus bermain ayunan. Herdi pun merasa ibah dengan permintaan orang bertubuh kecil. Tiga kali lipat lebih kecil.
Mata Herdi merem. Dia serasa akan hanyut berlayar ke pulau kapuk. Tapi dia tak mau tidur. Dia ingin bermain ayunan di pohon kopi lagi.
“Ayo kita bermain lagi.”
Manusia bertubuh kecil itu terus mendesak. Wajah elok mereka menambah ketertarikan Herdi larut dalam permmeainan berayun dengan bergayut pada cabang-cabang pohon.
“Ayo ikut kami.”
“Kemana?”
“Ke tempat kami.”
Herdi pun turut dengan manusia kecil. Dan kini jumlah mereka meningkat. Bergerumbul mereka berjalan menuruni bukit. Kian jauh dari perkampungan. Akhirnya mereka tiba di pancuran. Tempat mereka biasa mandi. Banyak bebatuan berjejer dan bertumpuk.
“Masuk yuk!”
Dahi Herdi mengerut. Dalam keadaan setengah sadar muncul curiga dalam benaknya. Mengapa aku harus masuk ke celah batu. Mana bisa masuk. Gumamnya. Mahkluk-mahkluk kecil satu persatu masuk melalui celah. Ini tak masuk akal. Walaupun aku masih anak-anak, tapi ini benar-benar di luar jangkauan berpikirku. Kata Herdi dalam hati.
“Kita pulang saja yuk,” ajak Herdi pada mahkluk kecil yang paling banyak berkomunikasi dengannya semenjak sore tadi. Berkali-kali mahkluk mengajar menembus celah batu, namun Herdi tetap menolak.
Mereka pun kembali menelusuri jalan yang mereka lewati sebelumnya. Yang mengherankan, hari sudah malam namun jalan dimana mereka melangkahkan kaki terang benderang seperti mendapat cahaya lampu sorot.
“Ayo kita berayun lagi.”
Kini Herdi lupa untuk pulang. Namun hatinya resah. Dia melihat orang jumlah besar dengan obor dan lampu petromaks menuruni bukit menuju pancuran dari mana dia dan kawan kecilnya datang. Orang betulan. Bukan mahkluk kecil. Dipanggilnya ayahnya yang lewat. Tak ada sahutan. Dilihat pun tidak. Herdi diliputi ketakutan. Dengan susah payah dia melangkah pulang ke rumah. Di halaman rumah dilihatnya banyak wanita dewasa dan anak bergunjing tetang sesuatu hal. Tentang seorang anak yang hilang. Dia menyapa orang-orang itu. Tapi mereka tak sedikit pun ambil pusing. Herdi menjerit tak bersuara.
“Herdi! Herdi! Oh Tuhan, napa tu Herdi, “ seorang wanita berteriak Histeris. Di kuping terdengar dengungan memekak. Orang-orang berkerumun. Menangis. Herdi pun histeris. Menangis ketika kerumunan secara bergantian menyentuhnya. Seperti hilang kekuatanya. Seorang wanita memeluknya dan mengguncang-guncangnya. Herdi terbangun dari setengah tidurnya. Kini tak ada lagi rasa takut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar