Rabu, 31 Oktober 2012

GADIS BERKAKI INDAH


GADIS BERKAKI INDAH
Oleh Iswan Sual, S.S

Pandangan mulai buram ketika mata memandang keluar dari tokoh buku GMIM Tomohon. Benda dengan jarak lima meter sudah agak samar dilihat oleh mata. Cepat-cepat, karena gerak-gerik gelisah pegawai penjaga toko, walau hanya pas-pasan, uang di dompet kurelahkan juga untuk ditukar dengan sebuah buku tebal  643 halaman. Sudah lama buku itu terpajang di lemari. Entah mengapa baru hari ini kuputuskan membelinya tanpa perasaan menyesal. Seolah ada firasat buku ini akan mendadak mahal harganya saat penulisnya meninggal dunia nanti. Selesai membayar, dengan gembira buku otobiografi Bert Adriaan Supit ku-bembeng keluar toko dengan pintu yang telah sempit karena sudah waktunya tutup.  Sebenarnya buku yang kucari, sebagaimana tujuanku ke toko itu, kalau tidak keliru berjudul “Kewarganegaraan yang bertanggungjawab”, sebuah otobiografi dari Johanis Leimena. Aku mengincar buku tersebut gara-gara disebut-sebut dalam buku renungan edisi ke-23 seri Selamat karya Andar Ismail. Mungkin, rasa kesal kecil karena tak menemukan buku itu, muncul keinganan untuk membeli buku otobiografi dr. Bert Adriaan Supit. Sungguh sebuah bentuk pelampiasan positif.
Sisa-sisa rasa kesal masih belum raib. Biasanya kalau situasi sudah begitu, aku berimprovisasi mencari kesenangan, dalam bentuk apapun, untuk  mengusirnya. Secara tak sengaja, walau sambil berpikir, langkah-langkah kaki berbelok ke kiri. Mengikuti trotoar kurang nyaman yang dibangun di masa pemerintahan walikota Tomohon Jefferson M. Rumajar. Sekarang dia terkurung dalam bui akibat penyalagunaan jabatan. Korupsi. Ya korupsi. Apalagi kalau bukan itu. Kerumunan orang yang bergerak, kadang-kadang kami bersenggolan terlihat begitu padat. Gadis-gadis dengan busana minim dan ketat turut memberi warna dalam hiruk pikuk petang di pusat kota Tomohon. Di depan toko Grand Central berdiri gadis-gadis berambut kuning bergaya seperti Go Hye Mi. Gadis Tomohon mirip perempuan Korea.
Tas besar yang menggantung di punggung kini terasa berat. Aku berbelok ke ke kiri dan memasuki gedung berlantai 5. Mungkin gedung ini, juga bernama Grand Central, adalah gedung tertinggi di kota Tomohon. Hanya sampai di lantai tiga. Aku kembali mengikuti jalan yang kulewati terdahulu. Yang beda kali adalah aku harus menuruni anak tangga. Kosong. Aku tak mendapatkan apa-apa di gedung tertinggi Tomohon itu.
Ponsel bergetar. Saat kubuka, terpampang banyak pesan yang belum terbaca. Kuhentikan langkah dan membacanya satu per satu. Semua pesan berasal dari pacarku. Dua pesannya adalah pesan laporan terkirim pesan. Dan tiga pesan lainnya adalah pesan penipuan. Bunyi pesannya sama, tolong kirimkan mama pulsa Rp 50ribu. Sekarang mama ada di rumah sakit lagi jagain papa, jadi tak sempat isi. Ah! Karena sudah banyak kali mendapat pesan serupa, aku langsung hapus saja. Penipuan dengan cara bergitu sudah kuanggap kuno. Tidak mempan bagi saya. Sudah itu kuteruskan langkah. Di depan Grand Central berlantai satu aku belok ke kanan. Di sebelah kanan trotoar masih terhampar puing-puing bekas SPBU. Lahannya, walau samar, masih terlihat. Rerumputan telah menguasai. Sungguh merusak pemandangan. Langkah cepat membawaku ke perempatan pasar. Dekat kantor pos.
“Tondano! Tondano! Dua lei.”
Seorang lelaki berambut panjang dengan jenggot mirip Ki Joko Bodo menyambutku ramah usai berteriak-teriak memanggil penumpang. Kulihat dia diberi dua lembar uang berwarna kehijauan dari sopir. Dia mempersilahkanku masuk ke dalam mikro dengan sopan. Mobil sepertinya sudah penuh, fol orang Manado bilang. Kecuali satu tempat duduk fip. Sebuah tempat duduk baris ketiga yang  menghalangi penumpang menuju kursi jok paling belakang. Saya kira sebutan fip untuk kursi itu tak mirip maknanya dengan kursi VIP (very important person-orang paling penting) dalam acara konser. Itu merupakan kata plesetan. Sebab orang yang duduk di kursi yang kadang berbahan kayu keras tersebut harus menerima derita ketidaknyaman menumpang dalam kendaraan berwarna biru langit tersebut. Tapi, secuilpun tak ada rasa jengkel. Karena, waktu aku baru satu langkah memasuki mobil tampak sepasang kaki langsing berwarna terang dengan balutan kain teramat minim. Pendek. Walau hanya singkat, dengan gamblang celana pendek yang dikenakan oleh gadis yang akhirnya menjadi tetangga duduk saya jaraknya kurang dari sejengkal tangan.
Perlahan aku menaruh pantat saya pada fip. Tas punggung kutempatkan di antara kedua kaki saya. Walau jarakku dengan gadis berkaki indah tak jauh. Bahkan saling bersentuhan, tak berani aku menoleh barang sedetik untuk melihat wajahnya. Yang kutahu suaranya merdu. Ibarat sentuhan, suaranya halus dan lembut. Seperti Go Hye Mi dalam film Korea berjudul Dream High. Mungkin wajah gadis di sampingku berwajah Go Hye Mi. sesekali kudengar dia membicarakan soal harga tiket promo dengan teman bicaranya di ponsel.
“ Apa de’? Yang penting kwa so pasiar. Kita tre lalu cuma satu dua hari. Spekol. Yang penting so lia’ Bali. Legian. Nda usah kwa’ pikir ole-ole apa ngana mo bawa’ pulang. Ngana lia kita, gantungan kunci. Itu no yang kita bawa dari Bali.”
Gadis berkaki indah di sebelahku begitu menghibur dan menentramkan jiwa. Kuanggap kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya ditujukan padaku. Kuandaikan kami saling rayu saat mampir di sebuah kafe sederhana namun terletak di tempat romantis. Seperti sebuah kafe pertigaan dekat patung Opo Tololiu. Katakanlah begitu.
Ponselku sekali lagi bergetar. Begitu kukeluarkan sinarnya terciprat ke samping kanan. Cahaya lampu ponsel lebih menambah keyakinanku bahwa Go Hye Milah yang duduk di sebelahku. Kaki putih, panjang dan langsing merayu-rayu untuk dilihat. Apalagi auratnya yang tinggal setengah jengkal lagi terumbar. Hingga kini gadis berlogat Tondano masih bicara dengan ponselnya. Rasa gelisah untuk melihat kian mendesak. Tapi tak mungkinlah aku melakukan kenekatan itu. Apalagi cahaya ponsel yang berkali-kali menyebar berpotensi menimbulkan rasa curiga padanya.
“Papi, halo? So baganggu kita? Iyo dang nanti jo sbantar kong telpon ulang.”
Kini mikro mulai menuruni daerah Kasuang. Kiri dan kanan berjejer restoran dan kafe. Lampu terang redup turut memperindah suasana petangku. Temaram dalam ruang kendaraan yang kami tumpangi menambah keromantisan aku dan Go Hye Mi. Isi obrolannya menunjukkan dia seorang gadis yang kaya namun tak manja. Tak ingin bergantung pada fasilitas. Sebagai gantinya, dia lebih suka naik angkutan umum. Mungkin ada harapan, dalam angkutan umum dia bertemu pemuda sederhana yang bakal menjadi pujaan hatinya. Mirip-mirip akulah. Hahahaha.
“Muka Om.”
Tak terasa kini aku sudah mesti turun dan merelahkan Go Hye Mi melanjutkan perjalanannya tanpaku. Mikro kini berhenti persis dekat rambu lalulintas yang mengindikasikan bahwa di depan ada pertigaan (bundaran). Yang ke kiri menuju Tondano. Yang ke kanan menuju kampus UNIMA. Ada kesempatan terakhir untuk melihat wajah gadis teman dudukku. Sengaja aku membayar tarif dengan uang pecahan Rp 10.000 agar paling tidak ada satu menit mobil akan berhenti. Itulah kesempatan yang akan kucuri berharap dapat memandang wajah gadis yang bersuara ayu dan yang bikin aku serasa mau terbang melayang bak malaikat. Cahaya lampu mobil yang datang dari depan akhirnya meluluskan keinginanku. Buset! Tak dapat dipercaya. Ternyata gadis yang duduk di sampingku, gadis bersuara lembut dan berkaki indah, yang aku bayangkan sebagai gadis Korea, gadis kaya yang nekat naik transportasi umum demi mencari pacar yang sederhana adalah mantan kekasihku. Gadis yang pernah mengejar-ngejar aku sewaktu aku masih populer di kampus. Namanya Nadya Chingsi Tombuku. Untung saja aku tak menoleh  padanya sewaktu kami duduk berdampingan. Untung dia tak sampai mengenal tampang saya yang kini urak-urakan. Lelaki berumur di ujung duapuluan yang hingga kini karena kutukan selalu ditolak gadis. Lelaki yang terlambat menyadari bahwa hidup manusia itu kadang di atas kadang di bawah. Seperti roda yang berbutar. Nadya pasti takkan senang. Juga takkan simpati. Malah dia bakal memaki aku gara-gara meninggalkannya sewaktu tahu dia sudah hamil dua bulan hasil hubungan tanpa batas kami di kos-kosan dulu.
“Nyong! Nyong! Napa doi sepulang!”
Tergesah-gesah aku menjauhi mobil. Dengan gaya berjalan yang sudah kuubah. Aku tak peduli dengan uang kembalian, Rp 6000. Aku tak mau mengambil resiko bertatapan dengan mantan kekasihku itu. Bisa-bisa aku diteriaki maling lalu orang-orang berhamburan datang memukuli, menyiram dengan besin kemudian membakar aku hidup-hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar