Rabu, 31 Oktober 2012

GADIS BERKAKI INDAH


GADIS BERKAKI INDAH
Oleh Iswan Sual, S.S

Pandangan mulai buram ketika mata memandang keluar dari tokoh buku GMIM Tomohon. Benda dengan jarak lima meter sudah agak samar dilihat oleh mata. Cepat-cepat, karena gerak-gerik gelisah pegawai penjaga toko, walau hanya pas-pasan, uang di dompet kurelahkan juga untuk ditukar dengan sebuah buku tebal  643 halaman. Sudah lama buku itu terpajang di lemari. Entah mengapa baru hari ini kuputuskan membelinya tanpa perasaan menyesal. Seolah ada firasat buku ini akan mendadak mahal harganya saat penulisnya meninggal dunia nanti. Selesai membayar, dengan gembira buku otobiografi Bert Adriaan Supit ku-bembeng keluar toko dengan pintu yang telah sempit karena sudah waktunya tutup.  Sebenarnya buku yang kucari, sebagaimana tujuanku ke toko itu, kalau tidak keliru berjudul “Kewarganegaraan yang bertanggungjawab”, sebuah otobiografi dari Johanis Leimena. Aku mengincar buku tersebut gara-gara disebut-sebut dalam buku renungan edisi ke-23 seri Selamat karya Andar Ismail. Mungkin, rasa kesal kecil karena tak menemukan buku itu, muncul keinganan untuk membeli buku otobiografi dr. Bert Adriaan Supit. Sungguh sebuah bentuk pelampiasan positif.
Sisa-sisa rasa kesal masih belum raib. Biasanya kalau situasi sudah begitu, aku berimprovisasi mencari kesenangan, dalam bentuk apapun, untuk  mengusirnya. Secara tak sengaja, walau sambil berpikir, langkah-langkah kaki berbelok ke kiri. Mengikuti trotoar kurang nyaman yang dibangun di masa pemerintahan walikota Tomohon Jefferson M. Rumajar. Sekarang dia terkurung dalam bui akibat penyalagunaan jabatan. Korupsi. Ya korupsi. Apalagi kalau bukan itu. Kerumunan orang yang bergerak, kadang-kadang kami bersenggolan terlihat begitu padat. Gadis-gadis dengan busana minim dan ketat turut memberi warna dalam hiruk pikuk petang di pusat kota Tomohon. Di depan toko Grand Central berdiri gadis-gadis berambut kuning bergaya seperti Go Hye Mi. Gadis Tomohon mirip perempuan Korea.
Tas besar yang menggantung di punggung kini terasa berat. Aku berbelok ke ke kiri dan memasuki gedung berlantai 5. Mungkin gedung ini, juga bernama Grand Central, adalah gedung tertinggi di kota Tomohon. Hanya sampai di lantai tiga. Aku kembali mengikuti jalan yang kulewati terdahulu. Yang beda kali adalah aku harus menuruni anak tangga. Kosong. Aku tak mendapatkan apa-apa di gedung tertinggi Tomohon itu.
Ponsel bergetar. Saat kubuka, terpampang banyak pesan yang belum terbaca. Kuhentikan langkah dan membacanya satu per satu. Semua pesan berasal dari pacarku. Dua pesannya adalah pesan laporan terkirim pesan. Dan tiga pesan lainnya adalah pesan penipuan. Bunyi pesannya sama, tolong kirimkan mama pulsa Rp 50ribu. Sekarang mama ada di rumah sakit lagi jagain papa, jadi tak sempat isi. Ah! Karena sudah banyak kali mendapat pesan serupa, aku langsung hapus saja. Penipuan dengan cara bergitu sudah kuanggap kuno. Tidak mempan bagi saya. Sudah itu kuteruskan langkah. Di depan Grand Central berlantai satu aku belok ke kanan. Di sebelah kanan trotoar masih terhampar puing-puing bekas SPBU. Lahannya, walau samar, masih terlihat. Rerumputan telah menguasai. Sungguh merusak pemandangan. Langkah cepat membawaku ke perempatan pasar. Dekat kantor pos.
“Tondano! Tondano! Dua lei.”
Seorang lelaki berambut panjang dengan jenggot mirip Ki Joko Bodo menyambutku ramah usai berteriak-teriak memanggil penumpang. Kulihat dia diberi dua lembar uang berwarna kehijauan dari sopir. Dia mempersilahkanku masuk ke dalam mikro dengan sopan. Mobil sepertinya sudah penuh, fol orang Manado bilang. Kecuali satu tempat duduk fip. Sebuah tempat duduk baris ketiga yang  menghalangi penumpang menuju kursi jok paling belakang. Saya kira sebutan fip untuk kursi itu tak mirip maknanya dengan kursi VIP (very important person-orang paling penting) dalam acara konser. Itu merupakan kata plesetan. Sebab orang yang duduk di kursi yang kadang berbahan kayu keras tersebut harus menerima derita ketidaknyaman menumpang dalam kendaraan berwarna biru langit tersebut. Tapi, secuilpun tak ada rasa jengkel. Karena, waktu aku baru satu langkah memasuki mobil tampak sepasang kaki langsing berwarna terang dengan balutan kain teramat minim. Pendek. Walau hanya singkat, dengan gamblang celana pendek yang dikenakan oleh gadis yang akhirnya menjadi tetangga duduk saya jaraknya kurang dari sejengkal tangan.
Perlahan aku menaruh pantat saya pada fip. Tas punggung kutempatkan di antara kedua kaki saya. Walau jarakku dengan gadis berkaki indah tak jauh. Bahkan saling bersentuhan, tak berani aku menoleh barang sedetik untuk melihat wajahnya. Yang kutahu suaranya merdu. Ibarat sentuhan, suaranya halus dan lembut. Seperti Go Hye Mi dalam film Korea berjudul Dream High. Mungkin wajah gadis di sampingku berwajah Go Hye Mi. sesekali kudengar dia membicarakan soal harga tiket promo dengan teman bicaranya di ponsel.
“ Apa de’? Yang penting kwa so pasiar. Kita tre lalu cuma satu dua hari. Spekol. Yang penting so lia’ Bali. Legian. Nda usah kwa’ pikir ole-ole apa ngana mo bawa’ pulang. Ngana lia kita, gantungan kunci. Itu no yang kita bawa dari Bali.”
Gadis berkaki indah di sebelahku begitu menghibur dan menentramkan jiwa. Kuanggap kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya ditujukan padaku. Kuandaikan kami saling rayu saat mampir di sebuah kafe sederhana namun terletak di tempat romantis. Seperti sebuah kafe pertigaan dekat patung Opo Tololiu. Katakanlah begitu.
Ponselku sekali lagi bergetar. Begitu kukeluarkan sinarnya terciprat ke samping kanan. Cahaya lampu ponsel lebih menambah keyakinanku bahwa Go Hye Milah yang duduk di sebelahku. Kaki putih, panjang dan langsing merayu-rayu untuk dilihat. Apalagi auratnya yang tinggal setengah jengkal lagi terumbar. Hingga kini gadis berlogat Tondano masih bicara dengan ponselnya. Rasa gelisah untuk melihat kian mendesak. Tapi tak mungkinlah aku melakukan kenekatan itu. Apalagi cahaya ponsel yang berkali-kali menyebar berpotensi menimbulkan rasa curiga padanya.
“Papi, halo? So baganggu kita? Iyo dang nanti jo sbantar kong telpon ulang.”
Kini mikro mulai menuruni daerah Kasuang. Kiri dan kanan berjejer restoran dan kafe. Lampu terang redup turut memperindah suasana petangku. Temaram dalam ruang kendaraan yang kami tumpangi menambah keromantisan aku dan Go Hye Mi. Isi obrolannya menunjukkan dia seorang gadis yang kaya namun tak manja. Tak ingin bergantung pada fasilitas. Sebagai gantinya, dia lebih suka naik angkutan umum. Mungkin ada harapan, dalam angkutan umum dia bertemu pemuda sederhana yang bakal menjadi pujaan hatinya. Mirip-mirip akulah. Hahahaha.
“Muka Om.”
Tak terasa kini aku sudah mesti turun dan merelahkan Go Hye Mi melanjutkan perjalanannya tanpaku. Mikro kini berhenti persis dekat rambu lalulintas yang mengindikasikan bahwa di depan ada pertigaan (bundaran). Yang ke kiri menuju Tondano. Yang ke kanan menuju kampus UNIMA. Ada kesempatan terakhir untuk melihat wajah gadis teman dudukku. Sengaja aku membayar tarif dengan uang pecahan Rp 10.000 agar paling tidak ada satu menit mobil akan berhenti. Itulah kesempatan yang akan kucuri berharap dapat memandang wajah gadis yang bersuara ayu dan yang bikin aku serasa mau terbang melayang bak malaikat. Cahaya lampu mobil yang datang dari depan akhirnya meluluskan keinginanku. Buset! Tak dapat dipercaya. Ternyata gadis yang duduk di sampingku, gadis bersuara lembut dan berkaki indah, yang aku bayangkan sebagai gadis Korea, gadis kaya yang nekat naik transportasi umum demi mencari pacar yang sederhana adalah mantan kekasihku. Gadis yang pernah mengejar-ngejar aku sewaktu aku masih populer di kampus. Namanya Nadya Chingsi Tombuku. Untung saja aku tak menoleh  padanya sewaktu kami duduk berdampingan. Untung dia tak sampai mengenal tampang saya yang kini urak-urakan. Lelaki berumur di ujung duapuluan yang hingga kini karena kutukan selalu ditolak gadis. Lelaki yang terlambat menyadari bahwa hidup manusia itu kadang di atas kadang di bawah. Seperti roda yang berbutar. Nadya pasti takkan senang. Juga takkan simpati. Malah dia bakal memaki aku gara-gara meninggalkannya sewaktu tahu dia sudah hamil dua bulan hasil hubungan tanpa batas kami di kos-kosan dulu.
“Nyong! Nyong! Napa doi sepulang!”
Tergesah-gesah aku menjauhi mobil. Dengan gaya berjalan yang sudah kuubah. Aku tak peduli dengan uang kembalian, Rp 6000. Aku tak mau mengambil resiko bertatapan dengan mantan kekasihku itu. Bisa-bisa aku diteriaki maling lalu orang-orang berhamburan datang memukuli, menyiram dengan besin kemudian membakar aku hidup-hidup.

BUKAN SEBUAH PENGAKUAN


BUKAN SEBUAH PENGAKUAN
Oleh Iswan Sual

“Wan…sudah siap?” kata kepala sekolah mengganguku yang tengah menikmati novel karya A. Fuadi, Negeri 5 Menara. “Ato, ngana mo baganti dulu? Kita tunggu jo dang di rumah.”
Kututup novel empat ratusan halaman itu dan memutar leher menatapnya. Tanda tanya besar bertumpuk di benak. Apa gerangan maksudnya dengan kalimat yang barusan dia ucapkan?
“Maksudnya apa pak?”
“Torang wo’o mo ka Amurang. Sama deng tu hari dang. Pertemuan sekolah-sekolah berkaitan dengan EDS. Evaluasi Diri Sekolah.”
Penjelasan singkatnya membawaku kembali ke masa lalu dengan kesan yang memuakkan. Kernyitan pada dahiku lepas setetelahnya.
“Nda ona’ mo tapigi kita bapa’. Ja kaluar dara kita pe idong. Blum bole ja ba angin kita.”
Alasan begitu lancar meluncur keluar dari mulutku. Sudah lama alasan itu mengeram di alam bawah sadar. Sebagai reaksi agar tak terulang lagi kejadian sial tahun lalu.
***
Tahun lalu…

Aku paling kesal bila ditipu. Kalian juga pasti kesal kan? Tempo hari, hari itu libur sekolah. Tiba-tiba saja datang seorang suruhan kepala sekolah ke rumahku.
“Basaleng jo kata. Mo pigi di Lompad. Kepsek bilang jang lupa bawa laptop,” kata seorang bapak begitu turun dari sepeda motornya yang masih tampak mengkilap tanpa cacat. Suaranya pun nyaris tak terdengar.
“Mo ba apa kira-kira e?”
“Oh kita komang nda tau. Cuma da bilang, basaleng jo kata kong bawa laptop.”
Rasa penasaran melingkupi. Kira-kira apa gerangan yang akan kami lakukan. Ada kebanggaan muncul dalam hati. Aku merasa bahwa tugas yang akan aku lakukan merupakan pengakuan terhadap kemampuanku dan kinerjaku selama ini. Mungkin aku akan dipromosikan di depan atasan kepala sekolah. Bangga rasanya kalau kita diakui.
Cepat-cepat aku membersihkan diri dengan air dingin yang sudah lama menginap dalam bak besar. Gayung bertubi-tubi masuk keluar bak itu. Dari luar terdengar ibu mengeluh karena aku mandi seperti tarzan yang datang ke kota. Tak tahu cara mandi yang benar. Aku tak perduli. Perasaan senang karena bangga kini  berubah menjadi perasaan sombong.
Belum selesai aku mengenakkan kemeja hitam bergaris-garis  ibu sudah menggedor-gedor pintu dan meneriakkan kalimat yang susah kuterima. Lantunan lagu yang berhamburan dari mulutku menang telak dari kalimat-kalimat ibu yang mungkin penting itu. Suasana hatiku pada waktu itu laksana saat pertama kali jatuh cinta pada anak gadis kelas satu dulu. Aku sudah kelas dua. Namanya Gledis. Tubuhnya mungil dan lincah. Aku paling suka kala kami bersitatap saat tak sengaja bertemu di lorong antara ruangan guru dan perpustakaan. Rambut di keningnya sangat tebal. Lesung pipinya aduhai!
“Pep pep! Pep pep!
Gedoran pintu makin keras beriringan dengan bunyi klakson mobil di depan rumah.
“Wan…! Wan…kepsek so di muka!”
Terburu-buru aku memasukan laptopku ke dalam tas warna hitamku. Kukenakkan sepatu tanpa tali. Tak lalai juga ku semir dengan Kiwi. Sempurna!
Wajah kepala sekolah berseri-seri waktu aku dan ibu sama-sama keluar dari rumah. Para guru lainnya cekikikan melihat aku yang agak yang cuek saja dimarahi ibu karna telah membuat manusia-manusia berseragam PNS di mobil menunggu.
***

Lima belas menit kemudian kami sudah tiba di sebuah sekolah di desa Lompad. Wajar sekolah sepi. Ini kan hari libur. Gelagatku seperti seorang turis begitu kami turun dari mobil yang dikendarai oleh kepsek. Sekolah berlokasi agak jauh di mana mobil terparkir. Kami harus menuruni kurang lebih lima puluh anak tangga. Dari anak tangga terakhir kulihat ada dua prasasti terpatri pada dinding berwarna coklat muda. Bendera negaraku dan negeri Kangguru berdampingan dalam prasasti. Tinta berwarna emas dalam dua bahasa menyampaikan bahwa bangunan sekolah itu merupakan bantuan dari negara masih terikat erat dengan negerinya ratu pangeran Charles itu.
Hebatnya sekolah ini punya toilet mewah layaknya sekolah-sekolah di negara maju. Pokoknya suasananya bikin aku teringat film-film barat yang diputar di saluran HBO.
Setelah membuang hajat di toilet yang mewah aku menuju ruangan yang nampak ramai. Agak segan aku masuk ke ruangan yang mulai penuh guru-guru. Penyelenggara acara masih sibuk mengatur kursi dan meja, mengurai kabel, memasang layar LCD.
“Maso jo,” kata kepala sekolah sambil memegang kedua bahuku dari arah belakang.
Aku mencari tempat duduk paling belakang dekat dengan tiga guru yang datang satu kendaraan denganku. Termasuk kepala sekolah. Kukeluarkan laptop dari tasku dan meletaknya di atas meja. Guru-guru lain yang masih udik menatap alat elektronik itu sedikit terpesona. Maklum laptop mungil berwarna putih susu itu enak dipandang.  Jadilah kami berempat duduk sebaris paling belakang.
“Bapak dari sekolah mana?” tanya pria muda berdasi.
“SMP Tinondeian.”
“Trus, dua ibu ini dari sekolah mana?”
“Sama.”
“Bapak?”
“Kami berempat dari sekolah yang sama.”
“Loh! Kok empat? Kan di surat hanya dua yang diminta.”
Rasa percaya diriku jatuh ke jurang terdalam. Aku memandangi ketiga rekan guruku. Penuh tanya. Kesal. Malu. Lebih banyak kesal. Kok, bisa salah begini ya? Aku memasukan laptop ke dalam tas diikuti bunyi retsleting yang keras. Aku berdiri siap untuk keluar.
“Biar jo. Nda usah keluar. Kita jo tu di luar. Kita dapangge ngana datang karna torang perlu operator komputer.”
Sial! Ternyata aku disini bukan sebagai orang penting. Tapi sebagai okoi. Pesuruh. Kalau tahu begini, aku tak mau repot-repot berdandan dan berbangga diri. Hanya karena si kepsek tak bisa mengoperasikan komputer, jadi dia berdusta supaya presentasinya akan berjalan mulus. Dusta. Ya dia berdusta. Menurutku, informasi yang tak lengkap adalah dusta. Dia tidak memberitahu dengan jelas tugasku sewaktu kami masih di kampung. Dan yang paling parah adalah aku di dalam ruangan berperan sebagai kepala sekolah. Dan dia tidur-tiduran di mobil berperan sebagai seorang sopir. Sial. Kami harus memeras otak seharian. Sedangkan dia asyik berkelakar dengan orang-orang di luar. Kepala sekolah macam itu. Peret re’e ona!

Diculik Lo’lok

Diculik Lo’lok
Oleh Iswan Sual

Herdi tak pulang-pulang rumah sejak siang setelah kembali dari sekolah. Memang, dia sempat pamit pada ibunya untuk bermain dengan kawan-kawannya, anak-anak tetangga. Biasanya dia sudah pulang. Dan seharusnya begitu. Teman-temannya juga kini sudah asyik berkelakar dengan orang tua mereka di rumah. Jelas kedengaran dari rumah Herdi. Matahari sudah lama bersembunyi di balik samudra luas.
Agar keresahan tak semakin menggunung tak pasti, ibu Herdi mengunjungi rumah tetangganya satu per satu. Sambil bertanya dan melihat-lihat anaknya kalau-kalau ada di sana. Seolah ada bisikan sesuatu telah menimpah anaknya. Naluri seorang ibu begitu kuat. Dia yakin akan hal itu.
“Herdi dengang torang tadi. Da main sama-sama di belakang. Torang da bayoya di pohong-pohong kopi. Torang pangge-pangge pulang tadi mar dia nimau. Cuma bayoya trus,” ujar teman Herdi terbata-bata. Gugup karena merasa diinterogasi.
Satu jam telah berlalu. Kini ayah Herdi juga ikut mencari. Padahal dia baru pulang dari kebun. Profesinya sebagai Ma’gula dengan kerja yang amat berat sebenarya bisa menjadi alasan untuk tidak langsung turun tangan mencari anaknya. Kalian mungkin tahu bagaimana beratnya menjadi seorang Ma’gula.  Pagi-pagi sekali, kira-kira jam lima, dia bangun lalu berjalan kaki sejauh tiga kilo meter. Rerumputan yang masih basah oleh embun turut menyumbang rasa dingin ke tubuh lelaki itu. Menusuk tulang. Ngilu bukan main. Sasampai di sana satu per satu pohon enau dipanjatnya, turunkan sareng berisi air nira dengan menggunakan tali. Berikutnya mengiris pusu’ yang mengeluarkan nira itu.
Setelah semua pohon aren penghasil nira dipanjat, kurang lebih sepuluh, tiba waktunya menghidupkan api untuk merebus air nira. Sambil menunggu air susut, dia pun harus mencari kayu bakar di hutan yang agak jauh dari sabuah, pabrik tradisional dimana dia memasak gula. Saat penyusutan sudah mencapai tahap paling, air nira yang sudah menjadi kental dituangkan ke tempurung. Di ujung sore sekali lagi pohon aren dipanjat untuk diambil niranya kemudian direbus. Wah, pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan kesabaran luar biasa.
Jam dinding bermerk Sonny terpatri di dinding menunjukkan kini sudah pukul 21.00. Ayah Herdi sudah melaporkan ke Hukum Tua bahwa anaknya, satu-satunya tak pulang rumah sejak keluar pukul 10 tadi pagi. Pengeras suara yang diletakkan di ujung pohon tertinggi di tengah kampung berkoar-koar menghimbau seluruh warga menyiapkan alat penerang dan kelengkapan lainnya untuk menemani mereka mencari anak sembilan tahun yang hilang.
***
Jam 06.00 sore (sebelum dinyatakan hilang)
Tanaman kopi rimat berhimpitan membuat gelap lahan luas di belakang hunian penduduk berjarak 200 m dari rumah Herdi. Di tengah-tengah, terdapat beberapa tanaman dengan batang sebesar kaki orang dewasa. Tanaman itu condong nyaris merayap di atas tanah. Gerombolan anak tahun terakhir SD di kampung itu suka sekali datang bermain monyet-monyetan. Mereka doyan berayun berjam-jam sambil menirukan Tarzan atau bintang film silat Cina yang lagi populer di desa. Ayunan alamiah yang disuguhkan oleh tanaman kopi yang berjejer itu sangat memanjakan anak-anak. Mereka merindukan ayunan saat masih bayi sebelum disapih.
“Di, marjo pulang. So ja barinte. Kalu balama disini torang mo basa. Mo dapa mara eta’ ya!”
Bukanya menoleh pada temannya, Herdi malah sibuk berbincang sendiri. Begitulah anak-anak. Berbicara sendiri tanpa lawan bicara adalah hal lumrah. Mereka mampu mementaskan sesuatu secara monolog di atas panggung nirpenonton. Monolog itu bukan hanya bakat melainkan berkat lahir yang akan berangsur-angsur punah seiring dengan bertambahnya usia anak-anak.
“Herdi…Di…Herdi!”
Gerimis yang datang beriringan dengan kepergian matahari ke ufuk barat memaksa kawanan anak cepat-cepat pulang ke rumah mereka masing-masing. Herdi semakin serius dengan monolognya. Bukan monolog. Ternyata dia berdialog.  Dengan seorang-orang yang hanya bisa dilihat oleh dia sendiri. Mahkluk itu meminta Herdi akan terus bermain ayunan. Herdi pun merasa ibah dengan permintaan orang bertubuh kecil. Tiga kali lipat lebih kecil.
Mata Herdi merem. Dia serasa akan hanyut berlayar ke pulau kapuk. Tapi dia tak mau tidur. Dia ingin bermain ayunan di pohon kopi lagi.
“Ayo kita bermain lagi.”
Manusia bertubuh kecil itu terus mendesak. Wajah elok mereka menambah ketertarikan Herdi larut dalam permmeainan berayun dengan bergayut pada cabang-cabang pohon.
“Ayo ikut kami.”
“Kemana?”
“Ke tempat kami.”
Herdi pun turut dengan manusia kecil. Dan kini jumlah mereka meningkat. Bergerumbul mereka berjalan menuruni bukit. Kian jauh dari perkampungan. Akhirnya mereka tiba di pancuran. Tempat mereka biasa mandi. Banyak bebatuan berjejer dan bertumpuk.
“Masuk yuk!”
Dahi Herdi mengerut. Dalam keadaan setengah sadar muncul curiga dalam benaknya. Mengapa aku harus masuk ke celah batu. Mana bisa masuk. Gumamnya. Mahkluk-mahkluk kecil satu persatu masuk melalui celah. Ini tak masuk akal. Walaupun aku masih anak-anak, tapi ini benar-benar di luar jangkauan berpikirku. Kata Herdi dalam hati.
“Kita pulang saja yuk,” ajak Herdi pada mahkluk kecil yang paling banyak berkomunikasi dengannya semenjak sore tadi. Berkali-kali mahkluk mengajar menembus celah batu, namun Herdi tetap menolak.
Mereka pun kembali menelusuri jalan yang mereka lewati sebelumnya. Yang mengherankan, hari sudah malam namun jalan dimana mereka melangkahkan kaki terang benderang seperti mendapat cahaya lampu sorot.
“Ayo kita berayun lagi.”
Kini Herdi lupa untuk pulang. Namun hatinya resah. Dia melihat orang jumlah besar dengan obor dan lampu petromaks menuruni bukit menuju pancuran dari mana dia dan kawan kecilnya datang. Orang betulan. Bukan mahkluk kecil. Dipanggilnya ayahnya yang lewat. Tak ada sahutan. Dilihat pun tidak. Herdi diliputi ketakutan. Dengan susah payah dia melangkah pulang ke rumah. Di halaman rumah dilihatnya banyak wanita dewasa dan anak bergunjing tetang sesuatu hal. Tentang seorang anak yang hilang. Dia menyapa orang-orang itu. Tapi mereka tak sedikit pun ambil pusing. Herdi menjerit tak bersuara.
“Herdi! Herdi! Oh Tuhan, napa tu Herdi, “ seorang wanita berteriak Histeris. Di kuping terdengar dengungan memekak. Orang-orang berkerumun. Menangis. Herdi pun histeris. Menangis ketika kerumunan secara bergantian menyentuhnya. Seperti hilang kekuatanya. Seorang wanita memeluknya dan mengguncang-guncangnya. Herdi terbangun dari setengah tidurnya. Kini tak ada lagi rasa takut.

Take For Granted



Sebuah cerpen
Oleh Iswan Sual

Sudah empat hari Lebing tinggal di sebuah pulau bernama Marore. Pulau ini adalah pulau terluar utara Indonesia yang merupakan bagian dari Kabupaten Sangihe. Dekat ke kota General Santos daripada kota Tahuna. Apalagi ke Manado. Waktu tempuh Marore ke Manado 18 jam. Sedangkan Marore ke General Santos hanya kurang lebih dua sampai 3 jam. Hari demi hari dilewatinya tanpa ada masalah yang serius. Padahal, sewaktu masih belum berada di lokasi tugasnya itu dia telah disuguhi banyak informasi yang sebenarnya punya potensi untuk membuatnya kalah sebelum berperang. Kata mereka, tak ada sinyal untuk ponsellah, listrik hanya malam, air susah didapat, dan lain-lain. Namun, bukan Lebing namanya jika dia harus menyerah hanya karena diberi informasi seperti itu. Dia cenderung berpikir objektif. Dalam hatinya dia selalu berkata, “Segala sesuatu punya plus dan minusnya.” Bagai sebuah paham Taoisme. Ada Yin dan ada juga Yang. Kalau bilang takut atau khawatir, secara manusia, pasti ada. Namun, buku yang berjudul The Secret rupanya banyak memberinya kekuatan untuk tidak selalu berburuk sangka. Melainkan berpikir positif demi hasil yang positif pula.
Kecuali udara yang super duper panas, semua mengenai Marore disukai Lebing. Kemarin, gara-gara tak bisa tidur di kamar, dia memutuskan berjalan-jalan di tepi pantai berpasir putih. Dia bercakap-cakap dengan penduduk setempat yang ramah-ramah. Lagipula udaranya yang belum terkontaminasi oleh polusi. Di sini tak ada mobil. Sepeda motorpun masih satu dua. Hanya butuh 40 menit untuk bisa mengelilingi luas desa.
***
Tadi pagi setelah sarapan kira-kira jam sembilan dia mulai berjalan keluar dari rumah singgahnya. Sesuai rencana yang dia buat semalam, dia akan ke kantor camat, puskesmas dan sekolah-sekolah untuk meminta data-data. Sedari satu langkah telah tersungging senyum di bibirnya. Dengan begitu seluruh saraf di tubuh akan ikut tercipta aura riang. Jalan setapak selebar dua meter disusurinya. Daun pepohon kelapa, pepaya bergelayut menggapai kepalanya. Samping kiri dan kanan terdapat rawa. Burung weris binatang-binatang air nampak malu-malu berkeriapan kembali ke kubangan. Bahkan rengekkan babi-babi hitam yang baru beranak tertambat. Bunyi-bunyi burung kecil nan nyaring dan lucu turut menambah suasana syahdu mengiringi langkah kaki Lebing ke kantor camat.
Di kantor camat yang dibangun di atas rawa itu lengang.
“Slamat pagi Pak.”
“Oh selamat pagi. Silahkan duduk, De. Ada yang mungkin bisa dibantu?” sambut bapak berambut klimis berperawakan seperti Adji Massaid. Tubuhnya tegap seperti pejuang-pejuang Palestina tanpa senjata. Pertanyaan demi pertanyaan dijawab mereka dengan sabar dan jujur. Ada juga seorang gadis tenaga honorer yang membantu. Namanya Yethlin Mahmud. Gadis yang menarik. Sewaktu memperkenalkan diri, dengan panjang lebar dia menjelaskan bahwa sebenarnya Opanya adalah orang Tidore Tahuna. Seorang muslim. Namun kemudian anaknya yang ke Marore berpindah menjadi Kristen. Gadis itu terlihat begitu cantik ketika tubuhnya dibalut baju yang resmi. Sepatu berhak tinggi begitu pas di kakinya. Walaupun gadis desa, ketika mengenakkan outfit yang modern, dia nampak seperti gadis kota yang maju pandangannya.
Dari situ selanjutnya aku berpindah ke kantor puskesmas. Tenaga medis melayaniku dengan baik. Tiga orang menjawab dengan sabar setiap pertanyaan yang terlontar. Umur mereka yang tak terlalu jauh dari ku membuat suasana sedikit lebih mencair. Aku disuguhkan es mangga segelas besar. Sudah empat hari aku di sini, dan di tempat itulah aku pertama kalinya dilayani dengan minuman sewaktu bertamu. Tak lama juga aku di tempat itu.
Selanjutnya aku menuju Lindongan tiga. Orang di sini menyebut dusun atau jaga sebagai Lindongan. Seperti yang umumnya digunakan di kampung-kampung Minahasa. Jadi setiap daerah punya penamaanya sendiri. Ini adalah wujud otonomisasi daerah. Tapi sayangnya, di kampung-kampung Minahasa hampir tak ada yang disesuaikan. Seharusnya desa disebut Ro’ong. Kecamatan disebut Pakasa’an, dan Kabupaten dinamakan Walak dan Propinsi disebut Wanua.
Di Lindongan 3 itu terdapat dua sekolah. SMP dan SMA. Kurang lebih 900 meter dari pusat kampong Marore. Tujuanku hanya SMP. Terik yang menggigit aku acuhkan karena keelokkan pantai pasir putih yang dibatasi jalan setapak berdinding. Mirip sekali tembok Cina. Saat langkah demi langkah menapak serasa aku berada di tembok Cina yang dibangun dengan mengorbankan ribuan orang dan dalam waktu bertahun. Bedanya tembok yang aku jejaki dibuat dengan kualitas rendah. Banyak yang telah retak dan berlubang. Asal jadi! Padahal dana-dana bantuan yang dikhususkan untuk daerah perbatasan begitu banyak demi kesejahteraan rakyatnya sendiri. Yang mengerjakan adalah orang kampong. Masih juga dibuat dengan mutu yang rendah. Dua guru menyambut saya dengan gembira. Wakil kepala sekolah begitu ramah. Sewaktu masih berbincang tiba-tiba hujan mengguyur. Namun tak lama berselang. Aku mohon pamit saat tinggal rintik-rintik kecil tak berarti. i
Saat pulang aku mencoba jalan alternatif lain supaya semakin mengenal wilayah dimana aku akan tinggal entah sampai kapan. Senyuman terus mengumbar di bibirku saat aku sudah berada lagi di tepi pantai. Kembali melewati tembok Cina. Jauh di depan terpampang dua pulau yang menonjol, Kemboleng dan Kawio. Di sebelah kiri, secara samar terpajang juga sebuah pulau tak berpenghuni yang bernama Mamanuk. Seirama kaki dan tangan bergerak, aku menyadari ada sesuatu yang kurang. Ya Tuhan! Aku lupa sesuatu. Map berisi formulir tertinggal di meja ruangan guru. Untung aku dengan sekolah hanya terbentang jarak kurang lebih 200 meter. Tak ada pilihan. Aku harus segera kembali. Mumpung jam sekolah belum berakhir. Lantai santai kini berubah menjadi langkah tergesa. Tak sampai dua menit aku telah tiba di sekolah dan mengambil map berwarna  biru yang tergeletak tepat di sisi tumpukan berkas dan buku-buku pegangan guru. Aku keluar dari ruangan guru. Melewati lapangan basket. Saat melewati SMA yang berdampingan dengan SMP terdengar tepuk tangan dan siutan yang disertai ledakkan canda tawa. Aku melarang kepalaku menoleh. Tepuk tangan, siutan terus saja.
“Anak-anak ini tidak diajarkan tatakrama! Masakan, aku seorang tamu diperlakukan seperti ini?” kecamku dalam hati. Dengan terpaksa aku menoleh ke arah darimana tepuk tangan dan siuatan itu. Sewaktu leher berputar 90 derajat yang kulihat bukanlah murid-murid yang nakal melainkan guru atau mungkin pegawai berseragam batik. Tampak begitu jelas bahwa mereka adalah orang-orang dewasa. Benakku penuh tanda tanya, “Kok bisa ya?”
Kembali lagi aku menyusuri jalan yang sama. Rasa kesal dilecehkan terobat oleh panorama pantai dan laut. Begitu biru airnya. Riak-riak berbuih turut menenangkan suasana hati. Aku mulai hanyut oleh belaian angin sepoi-sepoi. Di belakangku terdengar raungan sepeda motor. Begitu aku menoleh, kulihat dua sepeda motor. Ada tiga penumpangnya. Semuanya berseragam persis seragam yang digunakan pegawai yang iseng padaku. Cepat sekali sepada motor melaju. Dan tiba-tiba…
“Kak!” seorang gadis berkulit putih berteriak padaku sambil menunjukkan jarinya. Ya aku kenal perempuan itu. Dia adik angkatanku sewaktu masih kuliah. Salah satu yang pernah menjadi sasaran perpeloncoan. Sayangnya aku lupa namanya. Gadis blasteran bertubuh semampai. Tapi…dia masih gadis atau sudah menikah ya? Kurang tahu. Dia tak begitu kuperhatikan sewaktu di kampus. Memang sewaktu kuliah dulu mataku tak pernah beralih bila dia lewat di depan kelasku. Tapi, dia tak pernah dekat denganku. Barangkali, karena faktor perbedaan jurusan dan tak aktif di organisasi. Waktu itu aku berpikir tak ada pentingnya dekat dengan dia. Tambah lagi minat kami tak sama. Dia bukan tipe mahasiswa yang suka berorganisasi di kampus.
Gadis…perempuan itu lalu begitu saja. Kata “Kak” yang diucapkan paling tidak aku balas dengan “Hai”. Sepeda motor buru-buru membawa. Akupun tak berharap banyak. Aku meneruskan perjalanan sembari sesekali mengambil gambar pemandangan dengan kamera ponselku. Sesampai di tempat tinggalku, kulempar tas di atas kasur diiringi desahan panjang sebagai bentuk ekspresi manusia yang sudah kelelahan, kepanasan dan kelaparan. Tanpa ganti baju aku langsung menuju ke warung untuk membeli dua butir telur ayam.
“Kak!” dengan gerak reflek kepalaku mencari sumber suara.
Ya ampun! Gadis…perempuan di atas sepeda motor yang menegurku ternyata tinggal di depan tempat tinggalku. Kami hanya dipisahkan oleh tanah berjarak kurang dari sepuluh langkah. Dia datang mendekat. Seragam batik kecoklatannya tak lagi melekat di tubuhnya. Dia kini dibalut pakaian “Baby Doll”. Kegadisannya begitu kentara. Bentuk badannya masih menyiratkan bahwa dia masih gadis. Kami bicara banyak. Sangat ramah. Setelah pertemuan itu, dia sering ke tempat tinggalku. Membawakan makanan dan perhatian. Ya Tuhan! Orang yang tak begitu aku kenal dan tak dekat bertemu denganku di pulau terpencil. Dia begitu baik padaku. Aku sedikit merasa berdosa. Dulu aku berkawan demi sebuah manfaat dan keuntungan, take for granted. Justru orang-orang yang tak sedikitpun kita beri perhatian bisa menjadi sahabat atau malaikat di saat kita susah atau kesepian.